KATA PENGANTAR
Bismillahhirrahmanirrahim
Puji
syukur kahadirat Allah SWT. yang telah melimpahkan karunia, taufiq, dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dengan
baik.
Shalawat
dan salam semoga tetap mengalir deras pada pejuang kita yang namanya populerj
dan berkibar diseluruh dunia yakni Nabi besar Muhammad Saw. Yang mana dengan
perjuangan beliau kita dapat berada dalam cahaya islam dan iman.
Selanjutnya
penulis menyadari bahwa salam penulisan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan dan banyak kekurangan, sehingga penulis makalah ini sangat
mengharapkan sadan dan kritik yang konstruktif demi kesempurnaan dalam
penulisan makalah selanjutnya.
Akhirnya
penulis berdo’a semoga makalah ini akan membawa manfaat pada penulis khususnya
dan pembaca pada umumnya.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ijma’
adalah salah satu dalil syara’ yang memiliki tingkat kekuatan argumentasi
dibawah dalil-dalil Nas (Al-Qur’an dan Hadits) ia merupakan dalil pertama
setelah Al-Qur’an dan Hadits yang dapat dijadikan pedoman dalam menggali
hukum-hukum syara’
Namun
ada komunitas umat islam tidak mengakui dengan adanya ijma’ itu sendiri yang
mana mereka hanya berpedoman pada Al-Qur’an dan Al Hadits, mereka berijtihat
dengan sendirinya itupun tidak lepas dari dua teks itu sendiri (Al-Qur’an dan
Hadits).
Ijma’
muncul setelah Rasulullah wafat, para sahabat melakukan ijtihad untuk
menetapkan hukum terhadap masalah-masalah yang mereka hadapi.
“Khalifah
Umar Ibnu Khattab ra. misalnya selalu mengumpulkan para sahabat untuk
berdiskusi dan bertukar fikiran dalam menetapkan hukum, jika mereka telah
sepakat pada satu hukum, maka ia menjalankan pemerintahan berdasarkan hukum
yang telah disepakati.
Terkait
dengan ijma’ ini masih banyak komonitas diantaranya, sebagian mahasiswa yang
masih minim dalam memahami ijma’ itu sendiri maka dari itu kami penulis akan
membahas tentang ijma’ dan dirumuskan dalam rumusan masalah dibawah ini.
B. Rumusan Masalah
a. Pengertian
ijma’
b. Syara-syarat
ijma’
c. Macam-macam
ijma’
d. Kemungkinan
terjadinya ijma’
e. Kehujjaan
Ijma menurut pandanga ulama’.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ijma’
Ijma’
menurut bahasa artinya sepakat, setuju atau sependapat. Sedangkan menurut
istilah “Kebulatan pendapat semua ahli ijtihad Umat Nabi Muhammd, sesudah
wafatnya pada suatu masa, tentang suatu perkara (hukum).
Pada
sumber lain ada yang mengatakan bahwa ijma’ secara bahasa adalah niat yang kuat
dan kesepakatan. Dan arti menurut bahasa adalah kesepakatan para mujtahid ummat
ini setelah wafatnya Nabi Shalallahu ‘alaihi wa salam terhadap suatu hukum
syar’i.
Pada
referensi yang lainnya ada yang mengatakan Ijma' (
الِإجْمَاعُ) adalah mashdar (bentuk) dari ajma'a (
أَجْمَعَ) yang memiliki dua
makna:
1) Tekad yang kuat (العَزْمُ المُؤَكَّدُ)
seperti: أَجَمَعَ فُلَانٌ عَلَى سَفَرٍ (sifulan bertekad kuat untuk melakukan
perjalanan).
2) Kesepakatan (الاتِّفَاقُ) seperti: (أَجْمَعَ المُسْلِمُوْنَ
عَلَى كَذَا) kaum muslimin bersepakat
tentang sesuatu.
Sedangkan makna
Ijma' menurut istilah adalah:
اتِّفَاقُ مُجْتَهِدِيْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ وَفَاتِهِ فِيْ
عَصْرِ مِنَ العُصُوْرِ عَلَى
أَمْرٍ مِنَ الأُمُوْرِ
"kesepakatan
para mujtahid ummat Muhammad saw setelah beliau wafat dalam masa-masa tertentu
dan terhadap perkara-perkara tertentu pula".
Pada
masa Rasulullah masih hidup, tidak pernah dikatakan ijma’ dalam menetapkan
suatu hukum, kerena segala persoalan dikembalikan kepada beliu, apabila ada
hal-hal yang belum jelas atau belum diketahui hukumnya.
Ijma’ itu dapat
terwujud apabila ada empat unsur.
1. Ada sejumlah
mujtahid ketika suatu kejadian, karena kesepakatan (ijma’) tidak mungkin ada
kalau tidak ada sejumlah mujtahid, yang masing-masing mengemukakan pendapat
yang ada penyelesaian pandangan.
2. Bila ada
kesepakatan para mujtahid umat islam terhadap hukum syara’ tentang suatu
masalah atau kejadian pada waktu terjadinya tanpa memandang negeri, kebangsaan
atau kelompok mereka.
Jadi, kalau
mujtahid Makkah, Madihan, Irak, Hijaz saja umpamanya yang sepakat terhadap
suatu hukum syara’ tidak dapat dikatakan ijma’ menurut syara’ kalau bersifat
regional. Tetapi harus bertahap internasional. Masalah mungkin terjadi ijma’
atau tidak, lain lagi persoalannya, karena ada diantara ulama’ yang mengatakan
mungkin dan ada pula yagn mengatakan tidak mungkin.
3. Kesepakatan
semua mujtahid itu dapat diwujudakan dalam suatu hukum tidak dapat dianggap
ijma’ kalau hanya berdasarkan pendapat mayoritas, jika mayoritas setuju,
sedangkan minoritas tidak setuju. Berarti tetap ada perbedaan pendapat.
4. Kesepakatan
para mujtahid itu terjadi setelah ada tukar menukar pendapat lebih dahulu,
sehinga diyakini betul putusan yang akan ditetapkan.
Ijma’ menurut
para ulama’ :
1.
Menurut Imam Ghazali
Ijma’ adalah
kata sepakat (ittifaq) umat Muhammad SAW. Khusus mengenai suatu persoalan
keagamaan.
2.
Menurut Al Amidi
Ijma’ itu ialah
formulasi tentang kata sepakat kelompok yang berwenang mengambil keputusan dari
umat Muhammad SAW pada suatu masa tertentu tentang ketentuan suatu kasus
tertentu.
3.
Menurut Nasa’i
Ijma’ itu adalah
kata sepakat para ulama yang mempunyai kewenangan ber ijtihad, pada setiap masa
pada suatu hukum.
4.
Menurut Syaukani
Ijma’ ialah kata
sepakat para Mujtahidin dari umat Nabi Muhammad SAW setelah wafatnya pada masa
tertentu tentang suatu persoalan.
5.
Menurut Syi’ah Imamiyah
Ijma’ itu adalah
suatu kesepakatan yang mengungkapkan sabda al-ma’shum, baik kata sepakat itu
dari seluruh umat atau hanya sebagian.
6.
Menurut Al Nazhzham (tokoh Mu’tazilah)
ijma’ itu ialah
semua pendapat yang didukung oleh hujjahnya sekalipun pendapat itu hanya
pendapat satu orang saja
7.
Syeikh Islam Ibnu Taimiyah
Ijma’ adalah sumber hukum ketiga yang
dijadikan pedoman dalam ilmu dan agama, mereka menimbang seluruh amalan dan
perbuatan manusia baik batiniyah maupun lahiriyah yang berhubungan dengan agama
dengan ketiga sumber hokum ini.
B. Syarat-Syarat Ijma’
Dari definisi
ijma’ di atas dapat diketahui bahwa ijma’ itu bisa terjadi bila memenuhi
kriteria-kriteria di bawah ini.
1. Yang
bersepakat adalah para mujtahid.
Para ulama’
berselisih faham tentang istilah mujtahid.
Secara
umu mujtahid diartikan sebagai para ulama yang mempunyai kemampuan dalam
mengistimbatkan hukum dari dalil-dalil syara’. Dalam kita “jam’ul jawami”
disebutkan bahwa yang dimaksud mujtahid adalah orang yang fakih.
Beberapa
pendapat tersebut sebenarnya mempunyai kesamaan, bahwa yang dimaksud mujtahid
adalah orang Islam yang baligh, berakal, mempunyai sifat terpuji dsan mempu
mengistimbat hukum dari sumbernya.
Dengan
demikian, kesepakatan orang awam (bodoh) atau mereka yang belum mencapai
derajat mujtahid tidak bisa dikatakan ijma’ begitu pula penolakan mereka,
karena mereka tidak ahli dalam menela’ah hukum-hukum syara’.
2. Yang
bersepakat adalah seluruh mujtahid.
Bila
sebagian mujtahid bersepakat dan yang lainnya tidak meskipun sedikit, maka
menurut jumhum, hal itu tidak bisa dikatakan jima’. Karena ijma’ itu harus
mencakup keseluruhan mujtahid. Sebagaimana ulama’ berpandangan bahwa ijma’ itu
sah bila dilakukan oelh sebagian besar mujtahid, karena yang dimaksud
kesepakatan ijma’ termasuk pula kesepakatan sebagian besar dari mereka. Begitu
pula menurut kaidah fiqih, sebagian besar itu telah mencakup hukum keseluruhan.
3. Para mujtahid
harus umat Muhammad SAW.
Kesepakatan
yang dilakukan oleh para ulama selain umat Muhammad SAW. tidak bisa dikatakan
ijma’, hal itu menunjukkan adanya umat para nabi lain yang berijma’, adapun
ijma’ umat Nabi Muhammad SAW. tersebut telah dijamin bahwa mereka tidak mungkin
berijma’ untuk melakukan kesalahan.
4. Dilakukan
setelah wafatnya Nabi.
Ijma’ itu tidak
terjadi ketika Nabi masih hidup, karena Nabi senantiasa menyepakati
perbuatan-perbuatan para sahabat yang dipandang baik adna itu dianggap sebagai
syariah.
5. Kesepakatan
mereka harus berhubungan dengan Syariat.’
Maksudnya,
kesepakatan mereka haruslah kesepakatan yagn ada kaitannya dengan syariat,
seperti tentang wajib, sunah, makruh, haram dan lain-lain.
C. Macam-Macam Ijma’
Ijma’ ditinjau
dari cara penetapannya ada dua:
1. Ijma’ Sharih;
Yaitu para mujtahid pada satu masa itu sepakat atas hukum terhadap suatu
kejadian dengan menyampaikan pendapat masing-masing mujtahid mengungkapkan
pendapatnya dalam bentuk ucapan atau perbuatan yan mencerminkan pendapatnya.
2. Ijma’ Sukuti:
Sebagian mujtahid pada satu masa mengemukakan pendapatnya secara jelas terhadap
suatu peristiwa dengan fatwa atau putusan hukum. Dan sebagian yang lain diam,
artinya tidak mengemukakan komentar setuju atau tidaknya terhadap pendapat yang
telah dikemukakan.
D. Kemungkinan Terjadi Ijma’
Para ulama
berbeda pendapat tentang kemungkinan adanya ijma’ dan kewajiban
melaksanakannya. Jumhur berkata, “ijma’ itu bisa terjadi bahkan telah
terlaksana”. Sedangkan pengikut Nizam dan golongan Syi’ah menyatakan, ijma’ itu
tidak mungkin terjadi, dengan mengemukakan beberapa argumen, antara lain:
Pertama,
sesungguhnya ijma’ yang dimaksudkan oleh jumhur terntang diharuskannya adanya
kesepakatan semua mujtahid pada suatu masa sehingga harus memenuhi dua
kriteria:
1. Mengetahui
karakter setiap mujtahid yang dikategorikan mampu untuk mengadakan ijma’.
2. Mengetahui
pendapat masing-masing mujtahid tentang permasalahan tersebut.
Kedua, ijma’ itu
harus bersandarkan kepada dalil, baik yang qath’I ataupun yang dhanni. Bila
berlandaskan pada dalil qath’I maka tidak diragukan lagi bahwa hal itu tidak
membutuhkan ijma’. Sebaliknya bila didasarkan pada dalil yang dzanni, dapat
dipastikan para ulama’ akan berbeda pendapat karena masing-masing mujtahid akan
mengeluarkan pendapatnya dengan kemampuan berfikir daya nalar mereka, disertai
berbagai dalil yagn menguatkan pendapat mereka.
E. Kehujjaan
Ijma’ menurut Pandangan Ulama’.
Jumhur ulama
berpendapat, bahwa ijma’ dapat dijadikan argumentasi (hujjah) berdasarkan dua
dalil berikut:
Hadits-hadits
yang menyatakan bahwa umat Muhammad tidak akan bersepakat terhadap kesesatan.
Apa yang menurut pandangan kaum muslimin baik, maka munurut Allah juga baik.
Oleh karena itu, amal perbuatan para sahabat yang telah disepakati dapat
dijadikan argumentasi.
Ada beberapa
permasalahan yang berkaitan dengan kehujjahan ijma’, misalnya, apakah ijma’ itu
hujjah syar’i? Apakah ijma’ itu merupakan landasan usul fiqih atau bukan?
Bolehkah kita menafikan atau mengingkari ijma’?
Untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan tersebut, para ulama’ berbeda pendapat. Al-Qardawi berpendapat
bahwa orang-orang hawn tidak menjadikan ijma’ itu sebagai hujjah, bahkan dalam
sejarahnya dia mengatakan bahwa ijma’ itu bukan hujjah secara mutlak.
Menurut
Al-Maidi, para ulama’ telah sepakat mengenai ijma’ sebagai hujjah ygn wajib
diamalkan. Pendapat tersebut bertentangan dengan Syi’ah, Khawarij dan Nizam
dari golongan Mu’tazilah.
Al-Hajib berkata
bahwa ijma’ itu hujjah tanpa menanggapi pendapat Nizam, Khawarij dan Syiah.
Adapun Ar-Rahawi berpendapat bahwa ijma’ itu pada dasarnya adalah hujjah.
Sedangkan dalam kitab “Qawa’idul Usul dan Ma’qidul Usul” dikatakan bahwa ijma’
hujjah pada setiap masa. Namun pendapat itu ditentang oleh “Daut” yang
mengatakan bahwa ijma’ itu hanya terjadi pada masa sahabat.
Kehujjahan ijma’
juga berkaitan erat dengan jenis ijma’ itu merupakan sendiri, yaitu sharih dan
sukuti, agar lebih jelas maka pendapat mereka tentang ijam’ akan ditinjau
berdasarkan pembagian ijma’ itu sendiri.
1. Kehujjahan
ijma’ sharih
Jumhur telah
sepakat bahwa ijma’ sharih itu merupakan hujjah secar qath’i, wajib
mengamalkannya dan haram menentangnya. Bila sudah terjadi ijma’ pada suatu
permasalahan maka ita menjadi hukum qath’I yang tidak boleh ditentang, dan
menjadi menjadi masalah yang tidak boleh diijtihadi lagi.
Dalil-dalil yang
dikeluarkan oleh jumhur
Firman Allah
SWT. dalam surat Annisa’ ayat 115.
Artinya :
Barang siapa
menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan
jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah
dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahanam, dan Jahanam itu
seburuk-buruk tempat kembali. (QS. An-Nisa’: 115)
Kehujjahan dalil
dari ayat di atas adalah ancaman Allah SWT terhadap mereka yang tidak mengikuti
jalannya orang-orang mu’min. Disebutkan bahwa mereka akan dimasukkan ke neraka
Jahanam dan akan mendapat tempat kembali yang buruk. Hal itu menunjukkan bahwa
jalan yang ditempuh oleh orang-orang yang tidak beriman itu adalah batil dan
haram diikuti. Sebaliknya, jalan yang ditempuh oleh orang-orang mu’min adalah
hak dan wajib diikuti.
2. Kehujjahan
ijma’ sukuti
Ijma’ Sukuti
telah dipertentangkan kehujjahannya di kalangan para ulama. Sebagian dari
mereka tidak memandang ijma’ sukuti sebagai hujjah bahkan tidak mengatakan
sebagai ijma’. Di antara mereka ialah pengikut Maliki dan Imam Syafi’I yang
menyebutkan hal tersebut dalam berbagai pendapatnya.
Mereka
berargumen bahwa diamnya sebagian mujtahid itu mungkin saja menyepakati
sebagian atau bisa saja tidak sama sekali. Misalnya karena tidak melakukan
ijtihad pada satu masalah atau takut mengemukakan pendapatnya sehingga
kesepakatan mereka terhadap mujtahid lainnya tidak bisa ditetapkan apakah hal
itu qath’I atau zanni. Jika demikian adanya, tidak bisa dihalalkan adanya
kesepakatan dari seluruh mujtahid. Berarti tidak bisa dikatakan ijma’ ataupun
dijadikan sebagai hujjah.
Sebagian besar
golong Hanafi dan Imam Ahmad bin Hambal menyatakan bahwa ijma’ sukuti merupakan
hujjah qat’I seperti halnya ijma’ sharih. Alasan mereka adalah diamnya sebagian
mujtahid utuk menyatakan sepakat ataupun tidaknya terhadap pendapat yang
dikemukakan oleh sebagian mujtahid lainnya, bila memenuhi persyaratan adanya
ijma’ sukuti, bisa dikatakan sebagai dalil tentang kesepakatan mereka terhadap
hukum. Dengan demikian, bisa juga dikatakan sebagai hujjah yang qat’I karena
alasannya juga menunjukkan adanya ijma’ yang tidak bisa dibedakan dengan ijma’
sharih.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari
pembahasan yang telah dikemukakan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa ijma’
adalah suatu dalil syara’ yang memiliki tingkat kekuatan argumentatif di bawah
dalil-dalil nas (Al Quran dan hadits). Ia merupakan dalil pertama setelah Al
Quran dan hadits. Yang dapat dijadikan pedoman dalam menggali hukum-hukum
syara’.
Pada masa
Rasulullah masih hidup, tidak pernah dikatakan ijma’ dalam menetapkan suatu
hukum, karena segala permasalahan dikembalikan kepada beliau, apabila ada
hal-hal yang belum jelas atau belaum diketahui hukumnya.
Adapun dari
ijma’ itu sendiri harus memenuhi syarat-syarat tertentu, agar dalam kesepakatan
para mujtahid dapat diterima dan dijadikan sebagai hujjah/ sumber hukum (ijma’)
Dan dari ijma’
itu sendiri terdapat beberapa macam. Diantaranya: ijma’ sharih, ijma’ sukuti.
Dari dua versi itu lahirlah perbedaan-perbedaan dalam pandangan ulama’ mengenai
ijma’ itu sendiri.
Seperti ijma’
sukuti misalkan, pengikut Imam Maliki dan Syafi’I memandang bahwa ijma’ sukuti
sebagai hujjah bahkan tidak menganggap sebagai ijma’.
Sedangkan
segolongan dari Imam Hanafi dan Imam Ahmad bin Hambal menyatakan sebaliknya.
B. SARAN DAN KRITIKAN
Jadikanlah
makalah ini sebagai media untuk memahami diantara sumber-sumber Islam (ijma’)
demi terwujudnya dan terciptanya tatanan umat (masyarakat) adil dan makmur.
Kami sadar, dalam penulisan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan. Maka
dari itu, penulis sangat mengharapkan saran dan kritikan dan konstruktif demi
kesempurnaan penulisan makalah selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
M. Ali Hasan. Perbandingan
Mazhab. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada 2007.
Drs. Moh. Rifa’i.
Usul
Fiqih. Bandung: PT. Alma’arif 1973.
Prof. Dr. Abdul
Wahab Khallaf. Ilmu Usul Fiqih. Pustaka Amani, Jakarta 2003.
Prof. Dr.
Rachmat Syafi’i. MA. Ilmu Usul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia 2007.
Prof. Muhamad
Abu Zahrah. Usul Fiqih. Jakarta: Pustaka Firdaus, Cetakan Pertama 1994.,
Cetakan Kesembilan 2005.
Zuhri, Muh.1996.Hukum
Islam Dalam Lintasan Sejarah, Jakarta : PT Raja Grafindo
Zayd, Nashr
Hamid Abu. 1997.Imam Syafi’i Moderatisme Eklektisme Arabisme, Yogyakarta : LKiS
As Syaukani, 2006 Irsyadul
Fuhul: Ila Tahqiqil Haq Min ? : Darul Kotob Ilmiah;