MAKALAH SEJARAH HIDUP DAN CARA PENGAMBILAN HUKUM IMAM SYAFI’I
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas Mata Kuliah Tarikh Tasyriq yang diampu oleh Bapak Ali Ridho L.c
Disusun Oleh :
AGUS SANROSAD
AHMAD FAIYUN
AJI SANTOSO
AHAKINA KHUSNIATY W
ANA RESTYA
FSHI / AS SEMESTER V
UNSIQ JAWA TENGAH DI WONOSOBO
2011
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam islam kita
mengenal empat imam madzhab besar, yang tokoh-tokohnya terdiri dari Imam
Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali. Pandangan-pandangan dari empat ke empat
madzhab lebih dikenal kaitannya dalam studi ilmu fiqih, yang mana mereka
mempunyai perbedaan pendapat dalam menganalisa tentang kedudukan dan penerapan
hukum islam[1].
Namun disini pemakalah hanya akan membahas sedikit mengenai imam Syafi’i,
bagaimana kisah hidupnya, cara pengambilan hukum dan sumber hokumnya. Karena
Imam Syafi’I secara khusus dikenang karena membangun dan mensistematisasi
metode juris prudensi (secara tradisional disebut ushul Fiqih) yang membahas
dalil-dalil syara’utama, seperti Al Qur’an, as-Sunnah, Ijma’, Qiyas dan
beberapa sumber bernilai lainnya yang tidak seluruhnya diterima oleh seluruh
madzhab-madzhab dibidang hokum.[2]
LATAR BELAKANG MASALAH
1.
Siapakah Imam Syafi’I dan bagaimana kehidupannya?
2.
Jelaskan mengenai pola pemikiran, factor- factor yang
mempengaruhi dan metode ijtihad imam Syafi’i dalam menetapkan hokum islam?
3.
Bagaimana seluk beluk Qaul Qodim dan Qoul Jadid?
BAB I
PEMBAHASAN
Riwayat singkat kehidupan Imam Syafi’i
Sebagaimana dalam sejarah, Imam Syafi’i hidup pada masa-masa awal
pemerintahan Bani ‘Abbasiyah yang berhasil merebut kekuasaan dari Bani Umayyah.
Pada masa itu, setiap khalifah dari Bani ‘Abbasiyah hampir selalu menghadapi
pemberontakan orang-orang dari kalangan ‘Alawiyah. Kenyataan ini membuat mereka
bersikap sangat kejam dalam memadamkan pemberontakan orang-orang ‘Alawiyah yang
sebenarnya masih saudara mereka sebagai sesama Bani Hasyim. Dan hal itu
menggoreskan rasa sedih yang mendalam pada kaum muslimin secara umum dan pada
diri Imam Syafi’i secara khusus. Dia melihat orang-orang dari Ahlu Bait Nabi
menghadapi musibah yang mengenaskan dari penguasa. Maka berbeda dengan sikap
ahli fiqih selainnya, beliau pun menampakkan secara terang-terangan rasa cintanya
kepada mereka tanpa rasa takut sedikitpun, suatu sikap yang saat itu akan
membuat pemiliknya merasakan kehidupan yang sangat sulit.
a. Kelahiran
Ia lahir di Gaza palestina Kebanyakan ahli sejarah berpendapat bahwa Imam
Syafi'i lahir di Gaza, Palestina, namun di antara pendapat ini terdapat pula
yang menyatakan bahwa dia lahir di Asqalan; sebuah kota yang berjarak sekitar
tiga farsakh dari Gaza. Menurut para
ahli sejarah pula, Imam Syafi'i lahir pada tahun 150 H, yang mana pada tahun
ini wafat pula seorang ulama besar Sunni yang bernama Imam Abu Hanifah[3].
b. Nasab
Imam Syafi'i merupakan keturunan dari al-Muththalib, jadi dia termasuk ke
dalam Bani Muththalib. Nasab Beliau adalah Muhammad bin Idris bin Al-Abbas bin
Utsman bin Syafi’ bin As-Sa’ib bin Ubaid bin Abdi Yazid bin Hasyim bin
Al-Mutthalib bin Abdulmanaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay
bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin An-Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin
Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’ad bin Adnan. Nasabnya bertemu
dengan Rasulullah di Abdul-Manaf.
Dari nasab
tersebut, Al-Mutthalib bin Abdi Manaf, kakek Muhammad bin Idris Asy-Syafi`ie,
adalah saudara kandung Hasyim bin Abdi Manaf kakek Nabi Muhammad shallallahu
`alaihi wa alihi wasallam .
Kemudian juga
saudara kandung Abdul Mutthalib bin Hasyim, kakek Nabi Muhammad shallallahu
`alaihi wa alihi wasallam , bernama Syifa’, dinikahi oleh Ubaid bin Abdi Yazid,
sehingga melahirkan anak bernama As-Sa’ib, ayahnya Syafi’. Kepada Syafi’ bin
As-Sa’ib radliyallahu `anhuma inilah bayi yatim tersebut dinisbahkan nasabnya
sehingga terkenal dengan nama Muhammad bin Idris Asy-Syafi`ie Al-Mutthalibi.
Dengan demikian nasab yatim ini sangat dekat dengan Nabi Muhammad shallallahu
`alaihi wa alihi wasallam .
Bahkan karena
Hasyim bin Abdi Manaf, yang kemudian melahirkan Bani Hasyim, adalah saudara
kandung dengan Mutthalib bin Abdi manaf, yang melahirkan Bani Mutthalib, maka
Rasulullah bersabda:
“
Hanyalah kami (yakni Bani Hasyim) dengan mereka (yakni Bani Mutthalib) berasal
dari satu nasab. Sambil beliau menyilang-nyilangkan jari jemari kedua tangan
beliau. “
HR. Abu Nu’aim Al-Asfahani dalam Hilyah nya juz 9
hal. 65 – 66
C. PENDIDIKAN IMAM SYAFI’I
Setelah ayah Imam Syafi’i meninggal dan dua tahun
kelahirannya, sang ibu membawanya ke Mekah, tanah air nenek moyang. Ia tumbuh
besar di sana dalam keadaan yatim. Sejak kecil Syafi’i cepat menghafal syair,
pandai bahasa Arab dan sastra sampai-sampai Al Ashma’i berkata,”Saya mentashih
syair-syair bani Hudzail dari seorang pemuda dari Quraisy yang disebut Muhammad
bin Idris,” Imam Syafi’i adalah imam bahasa Arab.
i)
Belajar
di Madinah
Kemudian beliau pergi ke Madinah dan berguru fiqh
kepada Imam Malik bin Anas. Ia mengaji kitab Muwattha’ kepada Imam Malik dan
menghafalnya dalam 9 malam. Imam Syafi’i meriwayatkan hadis dari Sufyan bin
Uyainah, Fudlail bin Iyadl dan pamannya, Muhamad bin Syafi’ dan lain-lain.
Di majelis beliau ini, si anak yatim tersebut menghapal
dan memahami dengan cemerlang kitab karya Imam Malik, yaitu Al-Muwattha’ .
Kecerdasannya membuat Imam Malik amat mengaguminya. Sementara itu As-Syafi`i
sendiri sangat terkesan dan sangat mengagumi Imam Malik di Al-Madinah dan Imam
Sufyan bin Uyainah di Makkah.
Beliau menyatakan kekagumannya setelah menjadi Imam
dengan pernyataannya yang terkenal berbunyi: “Seandainya tidak ada Malik bin
Anas dan Sufyan bin Uyainah, niscaya akan hilanglah ilmu dari Hijaz.” Juga
beliau menyatakan lebih lanjut kekagumannya kepada Imam Malik: “Bila datang
Imam Malik di suatu majelis, maka Malik menjadi bintang di majelis itu.” Beliau
juga sangat terkesan dengan kitab Al-Muwattha’ Imam Malik sehingga beliau
menyatakan: “Tidak ada kitab yang lebih bermanfaat setelah Al-Qur’an, lebih
dari kitab Al-Muwattha’ .” Beliau juga menyatakan: “Aku tidak membaca
Al-Muwattha’ Malik, kecuali mesti bertambah pemahamanku.”[4]
Dari berbagai pernyataan beliau di atas dapatlah
diketahui bahwa guru yang paling beliau kagumi adalah Imam Malik bin Anas,
kemudian Imam Sufyan bin Uyainah. Di samping itu, pemuda ini juga duduk
menghafal dan memahami ilmu dari para Ulama’ yang ada di Al-Madinah, seperti
Ibrahim bin Sa’ad, Isma’il bin Ja’far, Atthaf bin Khalid, Abdul Aziz
Ad-Darawardi. Ia banyak pula menghafal ilmu di majelisnya Ibrahim bin Abi
Yahya. Tetapi sayang, guru beliau yang disebutkan terakhir ini adalah pendusta
dalam meriwayatkan hadits, memiliki pandangan yang sama dengan madzhab
Qadariyah yang menolak untuk beriman kepada taqdir dan berbagai kelemahan fatal
lainnya. Sehingga ketika pemuda Quraisy ini telah terkenal dengan gelar sebagai
Imam Syafi`i, khususnya di akhir hayat beliau, beliau tidak mau lagi menyebut
nama Ibrahim bin Abi Yahya ini dalam berbagai periwayatan ilmu.
ii) Di Yaman
Imam Syafi’i kemudian pergi ke Yaman dan bekerja
sebentar di sana. Disebutkanlah sederet Ulama’ Yaman yang didatangi oleh beliau
ini seperti: Mutharrif bin Mazin, Hisyam bin Yusuf Al-Qadli dan banyak lagi
yang lainnya. Dari Yaman, beliau melanjutkan tour ilmiahnya ke kota Baghdad di
Iraq dan di kota ini beliau banyak mengambil ilmu dari Muhammad bin Al-Hasan,
seorang ahli fiqih di negeri Iraq. Juga beliau mengambil ilmu dari Isma’il bin
Ulaiyyah dan Abdul Wahhab Ats-Tsaqafi dan masih banyak lagi yang lainnya.
ii)
Di Baghdad, Irak
Kemudian pergi ke Baghdad (183 dan tahun 195), di sana
ia menimba ilmu dari Muhammad bin Hasan. Ia memiliki tukar pikiran yang
menjadikan Khalifah Ar Rasyid. Dan selama beliau di Iraq, dapatlah menambah dan
meluaskan ilmu pengetahuan fiqh ahli Iraq; pun beliau dapat pula menambah
pengetauan tentang cara-cara Qadhy (hakim) memeriksa perkara dan memutuskan
urusan, cara-cara memberi fatwa dan menjatuhkan hokum dan sebagainya yang
dilakukan oleh para Qadht dan Mufty disana (kepala agama yang bertanggung jawab
tentang masalah-masalah agama), yang selamanya belum pernah beliau ketahui
selama di Hijaz.[5]Beliau
juga mendirikan madzhab Qadim / Qaul Qadim.[6]
iii)
Di
Mesir
Imam Syafi’i bertemu dengan Ahmad bin Hanbal di Mekah
tahun 187 H dan di Baghdad tahun 195 H. Dari Imam Ahmad bin Hanbal, Imam
Syafi’i menimba ilmu fiqhnya, ushul
madzhabnya, penjelasan nasikh dan
mansukhnya. Kalau di Baghdad ia
menamakan madzhab Al-Qadhim, maka madzhab di Mesir ini disebut Al-Jadid . ada
diantara fatwanya, pada Al-Qadim berbeda dengan fatwanya di Al Jadid ini. Disebutkan Qaulul Qadim dan
Qaulul Jadid[7]. Di
sana beliau wafat sebagai syuhadaul ilm
di akhir bulan Rajab hari jumat 204 H[8].
D. KARYA TULIS IMAM SYAFI’I
Kami hanya mengambil tiga karya Imam
Syafi’I yang paling termashyhur saja, diantaranya adalah :
i)
Kitab
Ar Risalah
Dalam kitab ini disusun oleh beliau secara sistematis,
dimana didalamnya membahas tentang beberapa ketentuan yang nada di dalam dua nash, baik itu terdapat dalam Al Qur;an
dan al-Hadits, masalah-masalah yang berkaitan dengan adanya Nasikh-Mansukh, syarat-syarat penerimaan
sanad dari para perowi tunggal,
masalah-masalah yang berkaitan dengan Ijma’, Ijtihad, Istihsan dan al-Qiyas.[9] Kitab ini diriwayatkan oleh Ar-Rabi’ bin
Sulaiman Al-Murady[10].
ii)
Kitab
Al Umm
Sementara kitab “Al Umm” sebagai madzhab yang baru Imam
Syafi’i diriwayatkan oleh pengikutnya di Mesir; Al Muzani, Al Buwaithi, Ar
Rabi’ Jizii bin Sulaiman. Imam Syafi’i mengatakan tentang madzhabnya,”Jika
sebuah hadits shahih bertentangan dengan perkataanku, maka ia (hadis) adalah
madzhabku, dan buanglah perkataanku di belakang tembok,”[11]
pembahasan dalam kitab ini, terdiri dari masalah-masalah yang berkaitan
‘Ibadah, Muamalah, masalah pidana da Munakahat. Bahkan dalam kitab ini
dijelaskan tentang adanya bantahan Muhammad bin Hasan al-Syaibaniy terhadap
aliran Madinah dalam bentuk perselisihan pandangan antara Imam Abu Hanifah
dengan Abi Laits. Dengan demikian, maka dapat dikatakan bahwa kitab al-Umm ini,
merupakan hasil dari penggabungan beberapa kitab dalam berbagai pandangan
Mujtahid.[12]
iii)
Kitab ‘’Ikhtilaf Malik Wa Syafi’I”
Yaitu kitab yang membahas masalah terjadinya ikhtilaf
antara Ali dan Ibu Mas’ud dan antara Imam Syafi’I dengan Abu Hanifah.
E. POLA PEMIKIRAN, FAKTOR-FAKTOR yang
MEMPENGARUHI DAN METODE ISTIDLAL IMAM SYAFI’I DALAM MENETAPKAN HUKUM ISLAM
i)
Pola
Pemikiran dan Faktor
Imam Syafi’i termasuk salah seorang imam madzhab yang masuk
kedalam jajaran “Ahli Al Sunnah wal
Jama’ah”, yang didalam bidang “furu’iyyah”
ada dua kelompok yaitu : “Ahl al-Hadits”
dan “Ahl al-Ra’yu” dan beliay sendiri
termasuk “Ahl al-Hadits”. Imam
Syafi’I termasuk imam madzhab yang mendapat julukan “Rihalah fi Thalab al-‘Ilm” yang pernah meninggalkan Mekkah pergi
ke Hijaz untuk menuntut ilmu kepada Imam Malik dank e Irak menuntut ilmu ke
Muhammad Ibn al-Hassan (seorang murid Imam Abu Hanifah). Karena kedua guru
inilah, beliau termasuk kelompok Ahl al-Hadits, tetapi dalam bidang fiqih
banyak terpengaruh oleh kelompok “Ahl
al-Ra’yu” dengan melihat metode penerapan hokum yang beliau pakai.
Sebagai seorang yang mengikuti manhaj Ash-habul Hadits, beliau dalam menetapkan suatu masalah terutama
masalah aqidah selalu menjadikan Alquran dan Sunnah Nabi sebagai landasan dan
sumber hukumnya. Beliau selalu menyebutkan dalil-dalil dari keduanya dan
menjadikannya hujjah dalam menghadapi penentangnya, terutama dari kalangan ahli
kalam. Beliau berkata, “Jika kalian telah
mendapatkan Sunnah Nabi, maka ikutilah dan janganlah kalian berpaling mengambil
pendapat yang lain.”Karena komitmennya mengikuti sunnah dan membelanya itu,
beliau mendapat gelar Nashir as-Sunnah wa
al-Hadits.
Orang yang menerima apa yang datang dari Rasulullah berarti
ia telah menerima apa yang datang dari Allah, karena Dia telah mewajibkan kita
untuk mentaatinya”. Beliau berdalil dengan sejumlah ayat di antaranya firman
Allah,” Hai orang-orang yang beriman,
taatilah Allah dan taatilah Rasul(-Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian
jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada
Allah (Alquran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya”, (QS. 4:59).
Bantahan Imam Syafi’i kepada orang yang mengingkari sunnah
sebagai hujjah.
1. Allah telah mewajibkan kita untuk mengikuti sunnah
Rasulullah dan menyuruh kita mematuhi perintah dan menjauhi larangannya.
2. Tidak ada cara lain bagi kita untuk mentaati perintah
Allah tersebut kecuali dengan mengamalkan apa yang datang dari Rasulullah
dengan lapang dada dan bersih hati dari keinginan untuk menolaknya, serta
pasrah pada perintah dan hukum-hukumnya.
3. Seorang muslim membutuhkan sunnah Rasulullah untuk
menjelaskan globalitas isi Al-Qur’an.
Pandangan Imam Asy-Syafi’i tentang hadits Ahad
Hadits Ahad adalah
hadits yang tidak memenuhi semua atau sebagian syarat –syarat hadits mutawattir. Yaitu diriwayatkan
oleh orang banyak yang menurut adat dan logika mereka tidak mungkin berdusta,
dan diriwayatkan dari orang banyak dan menyandarkan hadit kepada sesuatu yang
bisa dirasakan oleh indera.
ii)
Sumber
hukum dan Metode Imam Syafi’i dalam berhujjah
Oleh karena itu Imam Syafi'i tidak sekedar mendasarkan sunnah pada al Qur'an, tetapi juga berupaya meletakkan asumsi dasar bahwa
sunnah adalah bagian organik dalam struktur al Qur'an ditinjau dari pengertian
semantiknya. Karena al Qur'an dan Sunnah menjadi struktur organik semantik,
maka syafi'I pun dapat membangun ijma' atas dasar struktur tersebut hingga
menjadi teks tasyri' yang memperleh
signifikasinya dari pengertian teks yang tersusun dari al Qur'an dan sunnah.
Sumber ke empat dalam fiqih Imam Syafi'i adalah qiyas yang juga diambil dari
teks yang tersusun dari ke tiga dasar sebelumnya.
Para ulama' setelah Syafi'i menyebutkan al Kitab sebagai
sumber hukum Islam pertama dan sunnah sebagai sumber kedua setelah al kitab,
begitu juga sebelum Imam Syafi'i, seperti Imam Abu Hanifah yang menyetujui
bahwa dalam pengambilan hukum pertama harus dari al kitab, kemudian kalau tidak
diperoleh, baru mengambil dari sunnah. Sama halnya juga dengan Mu'az bin Jabal
ketika ditanya oleh nabi: "Dengan apa kamu memutuskan sesuatu?", kemudian
jawabnya: "Saya memutuskan sesuatu dengan Kitab Allah. Jika tidak didapati
di dalamnya maka dengan sunnah rosulullah, dan jika tidak didapatkan lagi maka
saya berijtihad dengan akal.
Syafi'i meletakkan sunnah sejajar dengan al Qur'an dalam hal
sebagai hujjah karena sunnah juga berasal dari wahyu. Syafi'i tidak menyamakan
al Qur'an dan sunnah dalam segala aspek, menurutnya perbedaannya paling tidak
bahwa al Qur'an mutawatir dan merupakan ibadah bagi yang membacanya sedangkan
kebanyakan sunnah tidak mutawatir juga membacanya tidak dinilai pahala. Kedua,
al Qur'an adalah kalam Allah, sedangkan sunnah adalah perkataan nabi SAW.
Syafi'i juga menjelaskan bahwa sunnah tidak semartabat dengan al Qur'an dalam
masalah aqidah.
Al
Qur'an
Syafi'i tidak memberikan batasan definitif bagi al Qur'an,
berdasarkan berbagai uraiannya, para pengikutnyalah yang memberikan definisi
terhadap al Qur'an. Misalnya definisi yang diungkapkan Taj Al Din Al Subki,
bahwa al Qur'an adalah lafadz yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW sebagai
mu'jizat dan membacanya merupakan ibadah.
Menurut Syafi'i al Qur'an itu maknan dan lafdzon. Seluruh al Qur'an terdiri atas bahasa Arab, tidak satu
katapun di dalamnya yang bukan bahasa Arab. Maka sejalan dengan itu ia mengatakan
bahwa setiap umat Islam diharuskan mempelajari bahasa Arab sedapat mungkin
(Mabalagahu juhduh) sehingga ia dapat mengucapkan syahadat, membaca al Qur'an,
dan mengucapkan dzikir. Tuntutan itu merupakan fardhu ‘ain yang berlaku secara umum, sedangkan penguasaan bahasa
Arab secara mendalam diwajibkan secara terbatas (fardhu kifayah) atas para ulama'. Syafi'i menekankan pentingnya
penguasaan bahasa Arab karena tidak mungkin bisa memahami kandungan al Qur'an
tanpa penguasaan terhadap bahasa Arab.
Sunnah
Meskipun Syafi'i tidak mengemukakan rumusan dalam bentuk
definisi dan batasan sunnah, dapat diketahui dengan jelas sunnah menurut
Syafi'i yaitu perkataan, perbuatan, atau taqrir yang disandarkan kepada nabi
SAW. Secara umum, batasan seperti ini diterima oleh para ulama' yang datang
kemudian. Seorang pembaca kitab-kitab Imam Syafi'i hampir dapat memastikan
bahwa penegakkan sunnah sebagai sumber hukum merupakan obsesi agenda
pemikirannya, bahkan yang paling asasi. Karena itu kita tidak boleh lupa dengan
signifikasi historis dari pemberian gelar nashir al Sunnah (pembela tradisi)
kepadanya.
Syafi'i menegaskan bahwa sunnah merupakan hujjah yang wajib
diikuti samahalnya dengan al Qur'an. Untuk mendukungnya dia mengajukan beberapa
dalil, baik dalil naqli maupun dalil aqli. Sejalan dengan pandangan tentang
kokohnya kedudukan sunnah, Syafi'i menegaskan bila telah ada hadits yang shohih
(tsabit) dari Rosulullah SAW, maka dalil dalil berupa perkataan orang lain
tidak diperlukan lagi. Jadi bila seseorang telah menemukan hadits shohih, ia
tidak lagi mempunyai pilihan kecuali menerima dan dan mengikutinya. Syafi'i
mengatakan "Tidak benar, kalau sesuatu (dalam hal ini dunnah) suatu saat
dianggap sebagai hujjah tetapi pada kali lainnya tidak".
Tentang hubungan antara sunnah dengan al Qur'an, Syafi'i
mengemukakan bahwa fungsi sunnah sebagai berikut[13]:
a)
Sebagai penguat dalil dalil dalam al Qur'an
b)
Sebagai penjelas dari ayat ayat al Qur'an yang masih global (mujmal)
c)
Sebagai tambahan; artinya mengatur hukum yang belum diatur dalam al Qur'an
Bahwa sunnah tidak dapat menaskh
al-Kitab. Fungsi sunnah terhadap al-Kitab hanyalah mengikuti apa yang
diturunkan sebagai naskh,danmenafsirkan apa yang diturunkan secara global (mujmal)… Dan firman Allah “tidak ada
sepatutnya bagiku untuk mengantinya dari diriku sendiri” (Yunus : 15) merupakan
penjelasan dari apa yang telah dikemukakan, bahwa al-kitab hanya bias
dinaskhkan oleh al-Kitab . Allah mengawaliturunnya kewajiban, maka Dialah yang
menghilangkan apa yang Ia kehendaki. Hal itu tidak selayaknya dilakukan oleh
siapapun diantara makhlukNya.[14]
Syarat syarat penerimaan sunnah
Syafi'i membagi hadits menjadi dua, yaitu kabar al-ammah (hadits mutawatir) dan kabar khashah (hadits ahad). Ia memandang
hadits mutawatir itu pasti, sehingga hadits tersebut mutlak harus diterima
sebagai dalil. Akan tetapi hadits ahad hanya wajib diamalkan apabila hadits
tersebut shohih. Pada pokoknya, persyaratan yang ditetapkan oleh Syafi'i agar
suatu hadits dapat diamalkan sama dengan yang dikemukakan oleh para ahli hadits
dan ahli ushul fiqh pada masa kemudian, yakni menyangkut tsiqoh (adalah dan dhobith) yang harus terpenuhi pada setiap perawi
dan kesinambungan sanad yang diriwayatkannya serta tidak adanya cacat atau kelainan dalam hadits tersebut.
2.
Ijma'
"Ijma' adalah hujjah atas segala sesuatu karena ijma'
itu tidak mungkin salah" (Syafi'i). Syafi'i menyepakati bahwa ijma'
merupakan hujjah agama (hujjatd din).
Ijma' menurut Syafi'i adalah kesepakatan para ulama' pada suatu masa tentang
hukum syara'. Kedudukan ijma' sebagai hujjah adalah setelah al Qur'an dan
sunnah. Sehingga ijma' diakhirkan dari pada al Qur'an dan sunnah. Oleh karena
itu, ijma' yang menyelisihi al Qur'an dan sunnah bukan merupakan hujjah dan
dalam kenyataannya tidak mungkin ada ijma' yang menyelisihi al Qur'an dan
sunnah. Apabila terjadi suatu peristiwa, maka peristiwa itu dikemukakan kepada
semua Mujtahid diwaktu terjadinya. Para Mjtahid itu sepakat
memutuskan/menentukan hukumnya[15].
Ijma' umat terbagi menjadi dua:
Ijma' Qauli, yaitu
suatu ijma' di mana para ulama' mengeluarkan pendapatnya dengan lisan ataupun
tulisan yang menerangkan persetujuannya atas pendapat mujtahid lain di masanya.
Ijma' Sukuti,
yaitu suatu ijma' di mana para ulama' diam, tidak mengatakan pendapatnya. Diam
di sini dianggap menyetujui.
Menurut Imam Hanafi kedua macam ijma' tersebut adalah ijma'
yang sebenarnya. Menurut Imam Syafi'i hanya ijma' yang pertama saja yang
disebut ijma' yang sebenarnya.
Selain ijma' umat tersebut masih ada macam-macam ijma' yang
lain, yaitu:
Ijma' sahabat
Ijma' Khalifah yang empat
Ijma' Abu Bakar dan Umar
Ijma' ulama Madinah
Ijma' ulama Kufah dan Basrah
ijma' itrah (golongan Syiah)
Sandaran Ijma’
Ijma' tidak dipandang sah, kecuali apabila ada sandaran,
sebab ijma' bukan merupakan dalil yang berdiri sendiri. Sandaran tersebut dapat
berupa dalil qath'i yaitu Qur'an dan
Hadits mutawatir, juga dapat berupa dalil zhanni
yaitu Hadits ahad dan qiyas[16].Rumusan
Syafi'i berbeda dengan rumusan Imam Malik yang menganggap kesepakatan penduduk
Madinah sebagai ijma' dan rumusan madzhab Zahiri yang membatasinya hanya pada
kesepakatan para sahabat. Ijma' yang mula-mula mendapat i'tibar dari Imam
Syafi'i ialah ijma sahabat dan ia menerima ijma' sebagai hujjah di tempat tak
ada nash. Kemudian yang perlu di
ingatkan bahwa Imam Syafi'i tidak menerima ijma' sukuti.
Sedangkan menurut Dr. Muh Zuhri[17]
yang dimaksud ijma menurut Imam Syafi’ri adalah kesepakatan seluruh ulama dalam
kurun waktu yang sama, disana tidak boleh ada seorang pun menyatakan
perselisihan pendapatnya dalam kasus yang dicarikan kesepakatannya. Teori ijma’
Imam Syafi’i tentunya sulit diwujudkan kalau hendak dikatakan tidak mungkin.
Namun tampaknya ide ijma’ sebagai sumber hokum ini merupakan upaya antisipasif
agar masyarakat islam tetap terpelihara dalam persatuan. Ulama fiqih termasuk
Imam Syafi’I melihat pertikaian politik dalam pemerintahan Islam yang
melibatkan semua masyarakat islam sudah sampai pada titik yang membahayakan.
Perpecahan ummat yang disebabkan perbedaan inilah yang dirasa membahayakan
persatuan. Lembaga ijma’ dimaksudkan untuk menyatukan pandangan di kalangan
para ulama. Dengan kesatuan ulama maka akan terwujudlah persatuan ummat islam.
3.
Qiyas
Imam Syafi'i adalah mujtahid yang mula-mula menguraikan dasar
qiyas. Para fuqaha sebelumnya membahas tentang ar-Ra'yu tanpa menentukan batas-batasnya dan dasar-dasar
penggunaannya, tanpa menentukan norma-norma Ra'yu
yang shahih dan yang tidak shahih.
Imam Syafi'i membuat kaedah kaedah yang harus dipegangi dalam
menentukan mana ra'yu yang shahih dan
yang tidak shahih. Ia membuat kriteria bagi istinbath-istinbath yang salah. Ia
menentukan batas-batas qiyas, martabat-martabatnya, dan kekutan hukum yang
ditetapkan dengan qiyas. Juga diterangkan syarat-syarat yang harus sempurna
pada qiyas. Sesudah itu diterangkan pula perbedaan antara qiyas dengan
macam-macam istinbath yang lain yang dipandang, kecuali qiyas. Dengan demikian
Imam Syafi'i adalah orang pertama dalam menerangkan hakekat qiyas. Imam Syafi'i
sendiri tidak membuat ta'rif qiyas.
Akan tetapi penjelasan penjelasannya, contoh-contoh, bagian-bagian dan
syarat-syarat menjelaskan hakekat qiyas, yang kemudian dibuat ta'rifnya oleh
ulama' ushul.
Biarpun ulama' ushul berbeda pendapat dalam merumuskan
definisi qias, namun secara implisit mereka mempunyai kesepakatan terhadap
rukun rukun qiyas. Hal ini karena definisi yang berbeda tersebut tetap
menekankan pada empat unsur pembentuk qiyas, yaitu kasus yang ditetapkan oleh nash (ashl), kasus yang baru akan
ditentukan hukumnya (far'u), sebab
hkum ('illat), dan hukum yang telah
ditentukan oleh nash (hukm ashl).
Ulama' ushul kemudian memberikan syarat syarat terhadap masing masing unsur
qiyas tersebut.
Pembagian
Qiyas
Qiyas dilihat dari kekuatan 'illat yang terdapat pada far dan
ashl menurut al-Syafi'i dibagi menjadi tiga bentuk yaitu:
1. Qiyas yang iillat hukum cabangnya (far') lebih kuat
daripada iillat pada hukum ashl. Qiyas ini, oleh ulama ushul figh Syafi'iyah
disebut sebagai qiyas awlawi. Misalnya, mengqiyaskan memukul pada ucapan
"ah". Keharaman pada perbuatan memukul lebih kuat daripada kaharaman
ucapan "ah", karena sifat menyakiti yang terdapat pada memukul lebih
kuat dari yang terdapat pada ucapan "ah".
2. Qiyas yang illat pada far' sama keadaan dan kekuatan
dengan 'illat yang pada ashl. Qiyas seperti ini, disebut oleh ulama ushul
Syafi'iyyah dengan al-qiyas al-musawi. Misalnya mengqiyaskan membakar harta
anak yatim kapada memakannya secara tidak patut dalam menetapkan hukum haram.
Artinya membakar harta anak yatim atau memakannya secara tidak patut adalah
sama-sama merusak harta anak yatim dan hukumnya sama-sama haram.
3. Qiyas yang illat hukum cabangnya (far') lebih lemah
dibamdingkan dengan illat hukum ashl. Qiyas seperti ini, disebut dengan qiyas
al-adna, seperti mengqiyaskan apel dengan gandum dalam berlakunya riba fadhl,
mengandung illat yang sama, yaitu sama-sama makanan. Memperlakukan riba pada
apel lebih rendah daripada berlakunya hukum riba pada gandum karena illat lebih
kuat.
QOUL-QODIM DAN
QOUL-JADID, SERTA KEDUDUKANNYA DALAM MADZHAB.
Qaul Qodim dan Qoul jaded merupakan produk hokum yang
bernuansa social-politik dan social-kultur adalah dua fatwa Imam Syafi’i yang
dilakukan di dua daerah yang berbeda sosio-kultur dan sosio-politiknya yaitu :
·
Qaul Qadim : dimana situasi bagdad saat itu
merupakan daerah yang sangat sederhana dan boleh dikatakan sangat terbelakang
disbanding dengan daerah lain.
·
Qaul jaded : dimana daerah Mesir saat itu
merupakan daerah Metropolis yang mengharuskan untuk berinteraksi dengan
memodifikasi terhadap putusan-putusan atau fatwa-fatwa yang sudah pernah
diputuskan, sehingga prinsip Maslahah menjadi pertimbangan yang sangat penting
dalam setiap mengambil keputusan, sebab keputusan yang diambil dalam wujud qaul
jadid merupakan pertimbangan terhadap qaul qadim.
Secara umum bisa di katakan bahwa yang dianggap pendapat
Madzhab adalah ‘Qoul-Jadid’ seperti yang di katakan Imam Syafi’i : “tidak
dibenarkan menganggap Qoul Qodim sebagai pendapat madzhab” , dan ini sesuai
dengan Qoidah Usuliyah : Jika seorang mujtahid berpendapat, kemudian setelah
itu dia berpendapat lain, maka yang kedua dianggap Ruju’/ralat bagi yang
pertama.
Tetapi Ulama Syafi’iyah merinci lebih jelas lagi :
1. Qoul-Jadid yang harus di pakai, sedang Qoul-Qodim harus
ditinggalkan, kecuali beberapa masalah yang berkisar antara 14 sampai dengan 30
masalah.
2. Qoul-Jadid tidak bisa dianggap pendapat madzhab kecuali
dengan jelas Imam Syafi’i mengatakan bahwa dia sudah meralat Qoul-Qodim. Sedang
bilamana tidak ada penjelasan dari Imam Syafi’i, maka dianggap ada 2 pendapat
dalam madzhab.
3. Qoul Jadid secara mutlak dianggap sebagai pendapat
madzhab.
Dan pendapat ketiga inilah yang lebih medekati kebenaran,
mengingat ulama Syafi’iyyah setelah meneliti dengan seksama, menyimpulkan bahwa
masalah-masalah yang tersebut dalam qoul-qodim ternyata semuanya tersebut dalam
qoul-jadid , kalaupun ada ulama Syafi’iyyah yang memakai dan berfatwa dengan
qoul qodim, pada hakikatnya beliau berijtihad dan ternyata sesuai dengan qoul
qodim, seperti yang disampaikan Imam Nawawi( 676 H).
Sedangkan pendapat yang kedua, ditolak oleh mayoritas ulama,
sebagaimana dikatakan Abu Ishaq Al-Syiroozi ( 476 H) dan Imam Nawawi :
“Pendapat ini jelas salah, sebab antara Qoul Qodim dan Qoul Jadid seperti dua
nash yang bertentangan, apabila tidak mungkin dipadukan, maka yang terakhir
yang harus dipakai sedang yang pertama di buang.
Sementara itu ada yang membandingkan dengan madzhab Hanafi,
yang bertentangan dengan madzhab Hanafi adalah dianggap sebagai pendapat
madzhab bukan yang sejalan, sebab tidak mungkin Imam Syafi’i berbeda pendapat
kecuali ada dalil yang lebih kuat, dan itu adalah pilihan Syech Abu Hamid
Al-Ashfarooiniy ; tapi menurut Al-Qoffal Al-Syasyi ( 365 H ) justru sebaliknya.
BAB III
PENUTUP
Sumber hukum yang dipegangi Imam Syafi'i dalam menetapkan
hukum adalah Al Qur'an, Sunnah, Ijma', dan Qiyas. Urutan tersebut bersifat
hierarki, artinya sumber hukum yang ada di bawahnya tidak boleh bertentangan
dengan yang di atasnya. Imam Syafi'i pernah menetap di Baghdad, Iraq. Dan
Selama tinggal di sana, ia mengeluarkan ijtihad-ijtihadnya, yang mana disebut
sebagai Qaul Qadim. Karena adanya pergolakan serta munculnya aliran Mu’tazilah
yang ketika itu telah berhasil mempengaruhi Kekhalifahan. Akhirnya Imam Syafi’i
pindah ke Mesir, ia melihat kenyataan dan masalah yang berbeda dengan masalah
sebelumnya (ketika tinggal di Baghdad). Imam Syafi’I kemudian mengeluarkan
ijtihad-ijtihad baru, yang dinamakan sebagai Qaul Jadid. Daerah/negara yang
Menganut Mazhab mayoritas Syafi’I : Libia, Indonesia, Pilipina, Malaysia,
Somalia, Palestina, Yordania, Libanon, Siriya, Irak, Hijaz, Pakistan, India
Jaziraa, dll.
DAFTAR PUSTAKA
Chalil,
Moenawar.1965.Biography empat serangkai imam madzhab, Jakarta : N.V Bulan-
Bintang
Dyaya, tamar. Studi
Perbandingan Imam Madzhab, Penerbit : Ramadhani
Khallaf, Syekh
Abdul Wahab.1955.ilmu Ushul Fiqih, Jakarta : PT Rineka Cipta
Mughniyah,
Muhammad Jawad. 2006.Fiqih Lima Madzhab, Jakarta :
Lentera
Syaltut, Mahmud.
1973.Fiqih
Tujuh Madzhab, Bandung : CV Pustaka Setia
Zayd, Nashr
Hamid Abu. 1997.Imam Syafi’i Moderatisme Eklektisme Arabisme, Yogyakarta : LKiS
Zein, Muhammad
Ma’sum.2008.Arus Pemikiran Empat Madzhab, Jombang : Darul Hikmah
Zuhri, Muh.1996.Hukum
Islam Dalam Lintasan Sejarah, Jakarta : PT Raja Grafindo
di akses pada 20
Desember 2011
di akses pada 21
Desember 2011
[1]
Tamar Djaja (Studi perbandingan imam madzhab) hal 1
[2]
Hossein Nasr (islam: agama, sejarah dan peradaban) hal 45
[3]
Muhammad Jawad Mughniyah (Fiqh lima madzhab)pembukaan
[4]
K.H Ali Yafie (menggagas fiqih social) hal 45
[5]
Moenawar cholil (biography empat serangkai imam madzhab) hal 151
[6]
Drs Muh. Ma’sum Zein (Arus pemikiran 4 madzhab) hal 159
[7]
Tamar Djaya (studi perbandingan Imam madzhab) hal 154
[8]
Prof Dr Manmud Syalthut (fiqih tujuh madzhab) pembukaan
[9] Drs
Muh. Ma’sum Zein (Arus pemikiran 4 madzhab) hal 172
[10] Moenawar
cholil (biography empat serangkai imam madzhab) hal 216
[11]
Wikipedia.com//Imam Syafi’i
[12]
Ibid hal 172-173
[13]
Nasr hamid Abu-Zayd (imam syafi’i: moderatisme,ekletisisme,arabisme) hal 29
[14]
Ibid hal 38
[15]
Syekh Abdul Wahab Khallaf (Ilmu Ushul Fikih) hal 49
[16]
Wikipedia.org//ijma’
[17] Dr.
Muh. Zuhri (hokum islam dalam lintasan sejarah) hal 116-117
tarima kasih makalahnya semoga anda ditambah amal kebaikannya
BalasHapusAmin ya Robbal alamin.. terimakasih :)
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusthax bro atas shararing makalahnya semoga mendapat balasannya dari allah dan dimudahkan rezekinya...
Hapus