MAKALAH FIQH SIYASAH
PEMIKIRAN POLITIK SUNNI, SYIAH, KHAWARIJ
DAN MU’TAZILAH
Tugas Ujian Akhir Semester sebagai syarat
mengikuti ujian lisan mata kuliah Fiqih Siyasah yang diampu oleh Bapak Muthoam
S.H i
Disusun Oleh :
DEWI SAKTIYAH AL ALAWIYAH
SEMESTER IV
FSHI / AS
UNSIQ JAWA TENGAH DIWONOSOBO
2011
DAFTAR ISI
Daftar Isi...........................................................................................................
Pedahuluan.......................................................................................................
Pembahasan......................................................................................................
Pemikiran
Politik Sunni
Pemikiran Politik Syiah
Pemikiran
Politik Khawarij
Pemikiran Politik Mu’tazilah
Kesimpulan.......................................................................................................
Daftar Pustaka..................................................................................................
PEMIKIRAN POLITIK SUNNI, SYIAH, KHAWARIJ DAN MU’TAZILAH
A.
PENDAHULUAN
Suatu hal yang perlu mendapat
catatan dalam dunia pepolitikan Nabi Muhammad SAW dalam praktiknya baik
mengenai mendirikan dan sekaligus memimpin Negara Madinah merupakan sebuah
isyarat bahwasannya keberadaan sebuah negara sangatlah penting. Namun satu hal
lagi mengenai Piagam Madinah yang menjadi sebuah kostitusi di era kepemimpinan
Nabi Muhammad SAW tidak menyebutkan agama negara.
Dengan berbagai macam pikiran
politik yang akan dibahas kali ini sekiranya kita dapat mengetahui beberapa
pandangan – pandangan masing – masing kelompok sehingga dapat menemukan apa
inti dari pemikiran berbagai kelompok ini.
B.
PEMBAHASAN
PEMIKIRAN POLITIK SUNNI
Sebagai kelompok mayoritas,
pola pikir politik kaum Sunni biasanya sangat pro kepada pemerintah yang
berkuasa.Pemikiran – pemikiran dari ahli – ahli politik Sunni cenderung membela
dan mempertahankan kekuasaan.Tidak jarang pula pemikiran politik dan kenegaraan
mereka menjadi alat legitimasi bagi kekuasaan khalifah yang memerintahkan [1], namun atas pendapat ini Mujar Ibnu
Syarif memberikan sebuah solusi ketika makalah ini dipresentasikan bahwasannya
pendapat diatas merupakan suatu hal yang darurat.
Ibnu Taimiyah sebagaimana
dijelaskan Iqbal, telas merumuskan bahwa enam puluh tahun berada di bawah rezim
penguasa zalim lebih baik daripada sehari hidup tanpa pemimpin.Munawir Sjadzali
dalam bukunya Islam dan Tata Negara
mengemukakan pendapat Ghazali, Ibnu Ali Rabi’ dan Ibnu Taimiyah yang telah
menyatakan dengan tegas bahwasannya kekuasaan kepada negara atau raja itu
merupakan mandat dari Tuhan yang diberikan kepada hamba – hamba pilihan – Nya,
dan disebutkan pula bahwa ketiga pemikir itu berpendirian bahwa khalifah itu
adalah Ghazali adalah muqaddas atau suci, tidak dapat diganggu gugat. [2]Ibnu
Abi Rabi’ mencari dasar lagi legitimasi keistimewaan hak – hak khalifah atas
rakyatnya dalam ajaran agama, yaitu
Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa – penguasa di bumi dan Dia
meninggikan sebahagian kamu atas sebagian (yang lain) beberapa erajat.Untuk
mengujimu tentang apa yang diberikan – Nya kepadamu.Sesunguhnya Tuhanmu amat
cepat siksaan – Nya, dan sesungguhnya Dia Maha Pengampuan lagi Maha Penyayang.(QS.Al – An’am, 6:165).
Hai orang –orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya),
dan ulil amri diantara kamu.Kemudian jika berlainan pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al – Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika
kamu benar – benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.Yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.(QS.Al – Nisa’,4:59).
Menurut Ibn Abi Rabi’, kedua
ayat diatas merupakan penegasan Allah bahwa Ia telah memberi keistimewaan
kepada para raja dengan segala keutamaan dan memperkokoh kedudukan mereka di
bumi – Nya.Disamping itu Allah SWT mewajibkan kepada para ulama untuk
menghormati, mengagungkan dan mentaati perintah mereka.Pandangan hampir serupa
dikemukakan oleh al – Ghazali sumber kekuasaan adalah Tuhan, dan lebih jauh
dikatakan bahwa pembentukan negara bukanlah berdasarkan pertimbangan rasio,
melainkan berdasarkan perintah syar’i, menurutnya, mustahil ajaran – ajaran
agama dapat terlaksana dengan baik kalau kondisinya tidak mendukung, sedang
pendukungnya adalah negara. [3]
Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa
keberadaan kepala negara dibutuhkan umat Islam tidak hanya sekedar menjamin
jiwa dan harta masyarakatnya, tetapi juga untuk menjamin jalannya hukum – hukum
Tuhan.Sebagai konsekwensi dari kekuasaan kepala negara yang sakral, baik Ibn
Abi Rabi’, Ibn Taimiyah mengharamkan umat Islam untuk melakukan pemberontakan
terhadap kepala negara meskipun kafir, selama ia masih menjalankan keadilan dan
tidak menyuruh berbuat maksiat kepada Allah. [4]
Mawardi berpendapat bahwa
sumber kekuasaan kepala negara adalah berdasarkan perjanjian antara agama dan
rakyatnya atau adanya kontrak sosial.Dari pendapat Mawardi ini lahirlah hak dan
kewajiban secara timbal balik antara kedua belah pihak yakni rakyat dan
penguasa.Suatu hal yang perlu mendapat perhatian dari al – Mawardi yakni
menekankan kepatuhan terhadap kepala negara (pemimpin) yang telah terpilih.
Kepatuhan ini tidak hanya
kepada pemimpin yang adil, tetapi juga kepada pemimpin yang jahat.
Ciri lain didalam pemikiran
politik golongan Sunni ini adalah penekanan mereka terhadap suku Quraisy
sebagai kepala negara walaupun Ibn Abi Rabi’ tidak menyinggungnya secara tegas,
dan Muhammad Iqbal memasukkan pemikiran Muhammad Rasyid Ridha yang hidup dimasa
modern yang masih menekankan suku Quraisy di dalam pemikiran politiknya.
Namun sebagai mana disinggung
Iqbal pula yang memasukkan pola pemikiran Ibnu Khaldun yang menyatakan bahwa
syarat Quraisy bukanlah sebuah harga mati.
PEMIKIRAN POLITIK SYI’AH
Sebelum merambah lebih jauh
lebih jauh mengenai pemikiran politik Syi’ah terasa tidak sah dan nyaman bila
tidak mengetahui sejarah lahirnya kelompok ini.Mengenai kelahiran kelompok ini
banyak sekali aneka ragamnya, sebagaimana dijelaskan oleh Iqbal yang mengatakan
bahwasannya Syi’ah lahir sebagai reaksi atas mayoritas kelompok Sunni yang
sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW telah mendominasi dalam percaturan politik
Islam[5], selanjutnya Munawir Sjadzali mengatakan
titik awal dari lahirnya Syi’ah karena berawal dari ketidak setujuan atas
kekhalifahan Abu Bakar dan berpendirian bahwa yang berhak menjadi khalifah
adalah Ali[6],
para ahli penulis sejarah sebagaimana dijelaskan dalam Ensiklopedi Islam sebagian menganggap Syi’ah lahir setelah wafatnya
Nabi Muhammad SAW, yaitu pada saat
perebutan kekuasaan antara golongan Muhajirin dan Anshor di Balai pertemuan
Saqifah Bani Sa’idah[7],
yang diselenggarakan di gedung pertemuan yang dikenal dengan Dar al – Nadwa di
Madinah[8],
dan lebih jauh dijelaskan sebagian ahli sejarah menganggap Syi’ah lahir pada
masa akhir khalifah Usman bin Affan atau pada masa awal kepemimpinan Ali bin
Abi Thalib dan dijelaskan dalam Ensiklopedi itu lebih jauh mengatakan
bahwasannya pendapat yang paling populer adalah bahwa Syi’ah lahir setelah
gagalnya perundingan antara pihak pasukan Ali dan Mu’awiyah bin Abu Sufyan di Siffin,
yang lazim disebut sebagai peristiwa at –
Tahkim atau arbitasi.Dan Abu
Zahroh memperkuat atas pendapat ini dengan mengatakan bahwasannya Syi’ah adalah
mazhab politik pertama lahir dalam Islam, mazhab mereka tampil pada akhir
pemerintahan Atsman, kemudian tampil pada akhir masa Ali. [9]
Pada perkembangan selanjutnya,
aliran Syi’ah ini terpecah menjadi puluhan cabang atau sekte, hal ini
disebabkan karena cara pandang yang berbeda dikalangan mereka mengenai sifat
imam ma’shum atau tidak dan perbedaan didalam menentukan pengganti imam.
Kaum Syi’ah menetapkan bahwa
seorang imam: [10]
- Harus
ma’shum (terpelihara) salah, lupa, dan maksiat.
- Seorang
imam boleh membuat hal luar biasa dari adat kebiasaan.
- Seorang
iam harus memiliki ilmu yang meliputi setiap sesuatu yang berhubugan
dengan syari’at.
- Imam
adalah pembela agama dan pemelihara kemurnian dan kelestarian agar
terhindar dari penyelewengan.
Tidak seperti kelompok syi’ah
lainnya Syi’ah Zaidiyah tidak menganut paham dan teori imam bersembunyi.Bagi
mereka imam harus memimpin umat dan berasal dari keturunan Ali dan Fatimah,
Syi’ah Zaidiyah tidak meyakini bahwa Nabi telah menetapkan orang dan nama
tertentu untuk menjadi imam.Nabi hanya menetapkan sifat – sifat yang mesti
dimiliki seorang imam yang akan menggantikan beliau.Terjadinya pengkultusan
terhadap diri Ali oleh kaum Syi’ah sebagaimn dijelaskan oleh suyuti merupakan
tidak bisa lepas dari pendapat Khawrij yang mengkafirkan Ali sejak peristiwa
tahkim (arbitrase).Tentunya untuk mengimbangi pernyatan dari kaum yang mereka
anggap berseberangan dengan mereka ini maka kelompok Syi’ah membuat doktrin
untuk menyeimbangi hal tersebut, yaitu mengangkat dan mengkultuskan pada
tingkat ma’shum, dan mendoktrin bahwa ia telah ditetapkan melalui wasiat Nabi
sebagai imam untuk pengganti Nabi. [11]
Iqbal menulis, secara sosio –
politik, berkembangnya doktrin Syi’ah dipengaruhi oleh beberapa faktor.Pertama, imam – imam Syi’ah, selain Ali
Ibn Abi Thalib, tidak pernah memegang kekuaaan politik.Mereka lebih
memperlihatkan sosoknya yang memiliki integritas dan kesalehan yang
tinggi.Merek tidak memiliki pengalaman praktis dalam memerintah dan menangani
permaslahan politik riil.Ketika mereka melihat realitas politik tidak sesuai
dengan nilai – nilai keislaman sebagaiman mereka inginkan, maka mereka
mengembangkan doktrin kema’shuman imam.Sebagian pemimpin yang ide.Kedua, sebagian pengikut syi’ah berasal
dari Persia ikut membentuk paradigma dalam corak pemikiran Syi’ah, yang
diketahui mereka dahulukalanya yakni mengagungkan raja dan menganggapnya
sebagai manusia suci, hal ini terlihat pada salah satu kelompok ini yang
mempunyai suatu paradigma yakni imam Ali adalah penjelmaan Tuhan yang tinggi
martabatnya bahkan dari Nabi Muhammad sendiri.Ketiga, pengalaman pahit yang selalu dialami pengikut Syi’ah dalam
percaturan politik ikut mempengaruhi berkembangnya doktrin al – Mahdi al – Muntatazhar yang akan melepaskan mereka dari
penderitaan.
Dari sekian banyak kelompok
ditubuh syi’ah, Iqbal mengelompokkan golongan ini menjadi tiga aliran:pertama: Moderat, umumnya memandang Ali
sebagai manusia biasa, dapat menerima kekhalifahan Abu Bakar dan Umar.Kedua:Ekstrem, menempatkan Ali sebagai
seorang nabi yang lebih tinggi dari Nabi Muhammad sendiri, bahkan ada yang
mengnggap Ali sebagai penjelmaan tuhan.Ketiga:
diantara kedua kelompok diatas, Ali sebagai pewaris yang sah jabatan khalifah
dan menuduh Abu Bakar dan Umar telah merebutnya dari tangan Ali, tidak
memperlakukan Ali tidak seperti nabi yang lebih utama dari Nabi Muhammad, apa
lagi penjelmaan Tuhan.
Diantara sekian banyak sekte,
terdapat 3 sekte besar dan berpengaruh dalammazhab Syi’ah hingga sekarang
yaitu: Zaidiyyah, Ismailiyyah (Sab’iyyah), dan Imamiyah (Isna’ Asy’ariyah). [12]
Sebelum membahs lebih lanjut
sebaiknya mengetahui nama – nama masing imam dalam tubuh Syi’ah:
- Zaidiyah:
Ali bin Abi Thalib, Hasan ibn Ali, Husein Ibn Ali, Ali Zaenal Abidin, Zaid
ibn Ali.
- Isma’iliyah
atau Sab’iyah: Ali bin Abi Thalib, Hasan ibn Ali, Husein ibn Ali, Ali
Zaenal Abidin, Muhammad al – Baqir, Ja’far al – Shadiq, Isma’il ibn Ali.
- Imamiyyah
atau Isna ‘Asyariyah: Ali bin Abi Thalib, Hasan ibn Ali, Husein ibn Ali,
Ali Zaenal Abidin, Muhammad al – Baqir, Ja’far al – Shadiq, Musa al –
Kadzim, Ali al – Ridho, Muhammad al – Taqi’, Ali al – Hadi, Hasan al –
Askari, Muhammad al – Mahdi.
Untuk memperjelas paham syi’ah
ini perlu dikethui ad beberapa paham yang berkembang diklangan mereka dan
mengalami perbedaan – perbedaan, an untuk mempermudah alam permahaman kelompok
atau sekte dalam tubuh Syi’ah ini dapat kita lihat di bagan berikut:
Skema Perpecahan dalam tubuh Syi’ah
1. Ali
2. Hasan
3. Husein
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Perbandingan
paham dalam mazhab Syi’ah
Sekte
|
Kualifikasi Imam
|
|
||||
Jumlah Imam
|
Dasar
pengangkatan
|
Harus ‘Ali
|
Ismah
|
Ghabiah
|
intizhar
|
|
Zaidiyah
|
5 Orang
‘Ali bin Abi Thalib. Husen Ibn ‘Ali.
‘Ali Zainal al-‘Abidin Zaid ibn Ali
|
Isyarat sifat-sifat imam oleh Nabi
Saw.
|
|
Tidak
|
Tidak
|
Tidak
|
Isma’iyah tsabiyah
|
5 Orang
‘Ali bin Abi Thalib. Husen Ibn ‘Ali.
‘Ali Zainal al-‘Abidin Muhammad al-Baqir. Ja’far al-shadiq. Isma’il ibn Jafar
|
|
Ya
|
Ya (tidak
pernah)
|
Ya
|
Ya
|
Imamiyah (Isna ‘Asy Anyah
|
12 Orang
‘Ali bin Abi Thalib. Husen Ibn ‘Ali.
‘Ali Zainal al-‘Abidin Muhammad al-Baqir. Ja’far al-shadiq. Musa al-Kharim,
‘Ali al-Ridha. Muhammad al-Taqi’. ‘Ali al-‘Aska
Muhammad al-Mahdi
|
|
Ya
|
Ya (tidak
pernah)
|
Ya
|
Ya
|
PEMIKIRAN POLITIK KHAWARIJ
Kelompok Khawarij muncul
bersama dengan mazhab Syi’ah.Masing – masing muncul sebagai sebuah mazhab pada
pemerintahan khalifah Ali bin Abi Thalib.Pada awalnya kelompok ini adalah para
pendukung Ali bin Abi Thalib, meskipun pemikiran kelompok ini lebih dahulu dari
pada mazhab Syi’ah. [13]
Khawarij adalah kelompok
sempalan yang memisahkan diri dari barisan Ali setelah arbitase atau tahkim yang
mengakhiri perseteruan dan kontak senjata antara Ali dan Mu’awiyah di Siffin. [14]
Dan suatu hal yang aneh kelompok yang semula merupakan sebuah kelompok yang
memaksa Ali untuk menerima tahkim dan menunjuk orang yang menjadi hakim atas
pilihan mereka ketika Ali pada mulanya hendak mengangkat Abdullah Ibn Abbas,
tetapi atas desakan pasukan yang keluar (Khawarij) akhirnya mengangkat Abu Musa
al – Asy’ari, belakangan memandang perbuatan tahkim sebagai kejahatan besar,
menurut kelompok ini Ali telah menjadi kafir kerana menyetujui tahkim dan menuntut
Ali agar bertaubat sebagaimana mereka telah kafir, tetapi mereka telah
bertaubat.Pegikut Khawarij terdiri dari suku Arab Badui yang masih sederhana cara berfikirnya, sikap keagamaan
mereka sangat ekstrim dan sulit menerima perbedaan pendapat dan diterangkan
oleh Abu Zahroh bahwasannya para pengikut kelompok Khawarij pada umumnya
terdiri atas orang Arab pegunungan yang ceroboh dan berpikiran dangkal,
beberapa sikap ekstrim ini pula yang membuat kelompok ini terpecah – pecah
menjadi beberapa kelompok. [15]
Menurut mereka, hak untuk
menjadi kahalifah tidak terbasta pada keluarga atau kabilah tertentu dari
kalangan Arab, bukan monopoli bangsa tertentu tetapi hak semua manusia. [16]
Meskipun mereka cenderung ekstrim dan sulit menerima perbedaan sebagaimana
dikatakan oleh Muhammad Iqbal bahwasannya pandangan mereka yang lebih maju dari
pada Sunni maupun Syi’ah.Mereka dapat menerima pemerintahan Abu Bakar, Umar,
Utsman pada enam tahun pertama dan Ali sebelum menerima arbitase dengan alasan
pemerintahan mereka pada masa sesuai dengan ketentuan syari’at.
Suatu hal yang lebih jauh
Iqbal membandingkan dengan kelompok Sunni dan Syi’ah, Khawarij tidak mengakui
hak – hak istimewa orang atau kelompok tertentu untuk menduduki jabatan
khalifah.Jabatan khalifah bukan monopoli mutlak suku Quraisy sebagaimana
pandangan Sunni misalkan saja pandangan al – Ghazali, al – Juwaini, al –
Asqolani, al – Maududi dan Ibnu Khaldun dan ungkapan yang tersirat pada
pandangan Ibnu Abi Rabi’ dan pandangan Muhammad Rasyid Ridho yang hidup pada masa
modern, [17]
juga bukan hak khusus Ali dan keluarga sebagaimana pandangan kaum
Syi’ah.Mungkin untuk mempertegas masalah ini kita melihat beberapa prinsip yang
disepakati oleh aliran – aliran Khawarij. [18]
Pertama, pengangkatan
khalifah akan sah hanya jika berdasarkan pemilihan yang benar – benar bebas dan
dilakukan oleh semua umat Islam tanpa diskriminasi.Seorang khalifah tetap pada
jabatannya selama ia berlaku adil, melaksanakan syari’at , serta jauh dari
kesalahan dan penyelewengan.Jika ia menyimpang, ia wajib dijatuhi hukuman yang
berupa dijatuhkan dari jabatannya atau dibunuh.
Kedua, jabatan
khalifah bukan hak khusus keluarga Arab tertentu, bukan monopoli suku Quraisy
sebagai dianut golongan lain, bukan pula khusus untuk orang Arab dengan
menafikan bangsa lain, melainkan semua bangsa mempunyai hak yang sama.Khawarij
bahkan mengutamakan Non Quraisy untuk memegang jabatan khalifah.Alasannya,
apabila seorang khalifh melakukan penyelewengan dan melanggar syari’at akan
mudah untuk dijatuhkan tanpa ada fanatisme yang akan mempertahankannya atau
keturunan keluarga yang akan mewariskannya.
Ketiga, yang bersal
dari aliran Najdah, pengangkantan khalifah tidak diperlukan jika masyarakat
dapat menyelesaikan masalah – masalah mereka.Jadi pengangkatan seorang imam
menurut mereka bukanlah suatu kewajiban berdasarkan syara’, tetapi hanya
bersift kebolehan.Kalau pun pengangkatan itu menjadi wajib, maka kewajiban
berdasarkan kemaslahatan dan kebutuhan.
Keempat, orang yang
berdosa adalah kafir.Mereka tidak membedakan antara satu dosa dengan dosa yang
lain, bahkan kesalahan dalam berpendapan merupakan dosa, jika pendapat itu
bertentangan dengan kebenaran.Hal ini mereka lakukan dalam mengkafirkan Ali dan
Thalhah, al – Zubair, dan para tokoh sahabt lainnya, yang jelas tentu semua itu
berpendapat yang tidak sesuai dengan pendapat khawarij.
Dari keterangan diatas,
menurut mereka siapa saja berhak menduuki jabatan khalifah bahkan mereka
mengutamakan orang selain dari Non Arab.Dan dari pemikiran diatas, pengikut
khawrij berpandangan pengangkatan khalifah dan pembentukan negara adalah
masalah kemaslahatan manusia saja, mereka tidak menganggap kepala negara sebagi
seorang yang sempurna, Iqbal menjelaskan bahwasanya Khawarij menggunakan
mekanisme syura untuk mengontrol pelaksanaan tugas – tugas pemerintahan, hal
ini menujukkan kedemokrasian klompok ini. [19]
PEMIKIRAN POLITIK MU’TAZILAH
Kelompok ini Mu’tazilah pada
awalnya merupakan gerakan atau sikap politik beberapa sahabat yang gerah
terhadap kehidupan politik umat Islam pada masa pemerintahan Ali. [20]
Dengan terjadinya konflik dalam internal umat Islam mengenai pengangkatannya
khalifah yang keempat.
Penanaman kelompok ini dengan
Mu’tazilah baru terjadi pada saat terjadinya perbedaan – perbedaan antara
Washil Ibn Atha dega gurunya Hasan al – Bashri pada abad ke II H, tentang
penilaian orang yang berbuat banyak dosa[21]dalam
referensi lain disebutkan orang yang berbuat dosa besar.[22]Namun
Harun Nasution sendiri menjelskan banyak sekali asal usul nama Mu’tazilah
walaupun para ahli talah mengajukan pendapat mereka namun belum ada kata
sepakat antara mereka.
Kelompok Mu’tazilah
selanjutnya berkembang menjadi sebuah aliran teologi rasional, akan tetapi
sesuai dengan situai dan perkembangan saat itu, pemikiran – pemikiran
mu’tazilah merambah kelapangan siyasah, hal ini dapat dilihat dari tokoh mereka
Abd al – Jabbar yang berbicara tentang khalifah, ia berpandangan bahwa
pembentukan lembaga khalifah bukanlah kewajiban berdasarkan syar’i karena nash
tidak tegas mempermasalahkan untuk membentu negara dan Suyuti menambahkan dalam
karangannya, melainkan atas dasar pertimbangan rasio dan tuntutan mu’amalah
manusia. [23]
Abd al – Jabar menempatkan
kepala negara pada posisis yang sama dengan umat Islam lainnya, menurutnya
kepala negara bukan sosok yang luar biasa sebagimana pandangan Syi’ah atau
pendapat Sunni yang lebih mengutamakan suku Quraisy untuk menduduki kepala
negara, menurutnya kalangan mana dan siapapun boleh menjadi kepal negara,
asalkan ia mampu melaksanakannya, kepala negara ditentukan berdasarkan pemilihan
umat Islam sendiri.
C.
PENUTUP
Dari pembahasan diatas sebagai
pelengkap dari makalah ini
ada tiga pemikiran politik kenegaraan dalam Islam.Pertama, aliran aristokrasi dan monarki yang diwakili oleh kelompok
Sunni.Kedua, aliran teokrasi yang
diwakili oleh Syi’ah kecuali Syi’ah Zaidiyah.Ketiga, aliran demokrasi yang dianut oleh Khawarij.
Dengan mengetahui pemikiran
politik masing – masing golongan ini semoga kita paham apa arti sebuah
perbedaan yang inti dari perbedaan diatas adalah betapa pentingnya sebuah
negara, terlepas apakah disana terdapat perbedaan – perbedaan.
DAFTAR PUSTAKA
Iqbal,
Muhammad, Fiqih Siyasah: Kontekstualisasi
Doktrin Politik Islam, Jakarta: Gaya Media Persada, 2001.
Nasution,
Harun, Teologi Islam: Aliran – Aliran
Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UI Press, 1986.
Pulungan,
Suyuti, Fiqih Siyasah: Ajaran, Sejarah
dan Pemikiran, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 1997.
Redaksi
Ensiklopedi Islam Ringkas, Ensiklopedi
Islam Ringkas, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, Januari 1999, jilid
keenam.
Redaksi
Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam,
Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, Cetakan kedua.
Sjadzali,
Munawir, Islam dan Tata Negara: Ajaran,
Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: UI Press, 1990.
Zahrah,
Imam Muhammad, Tarikh al – Madzahib al –
Islamiyyah, terjemahan Abd.Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib, Aliran Politik dan Aqidah Dalam Islam,
Jakarta: Logos, 1996, cetakan kesatu.s
[1] Muhammad Iqbal, Fiqih Siyasah, (Jakarta:Gaya Media
Pratama, 2001), hal.106.
[2] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, (UI –
Press, 1990), hal.108.
[3] Muhammad Iqbal, Op, Cit., hal.107.
[5] Muhammad Iqbal, Op, Cit., hal.112.
[6] Munawir Sjadzali, Op, Cit., hal.211.
[7] Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta:
Ichtiar Baru Van Hoeve), Cetakan keenam, hal.5.
[8] Redaksi Ensiklopedi Islam Ringkas, Ensiklopedi Islam
Ringkas, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada,Januari 1999), Cetakan kedua,
hal.385.
[9] Imam Muhammad Abu Zahroh, Tarikh al – Madzahib al -
Islamiyyah, terjemahan Abd.Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib, Aliran Politik dan Aqidah Dalam Islam,
(Jakarta: Logos, 1996), cetkakan kesatu, hal.34.
[10] Suyut Pulungan, Fiqih Siyasah, (Jakarta; PT.Raja
Grafindo Persada, 1997), cet ketiga, hal.207.
[15] Harun Nasution,Teologi
Islam Aliran – Aliran Sejarah Analis Perbandingan, (UI; Press, 1986),
Cet.Kelima, hal.13.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar